Hafidz,
yah! Hafidz-
Lembayung
senja, menjadi saksi perpisahan kami. Kami
yang berpencar memendar dakwah tersirat lewat keseharian. Beragam aktifitas telah usai kami lakukan bersama untuk
terselenggaranya acara bakti sosial hari ini. Ada banyak hal yang dapat kami bagi sebagai hikmah dari para
yatim-piatu. Perbincangan
sore ini adalah yang paling mengharuskan diri mengambil hikmah sebagai penutup
acara bakti sosial.
Sebutlah
Viona, sahabatku yang sore hari ini benar-benar terispirasi karenanya. Dua
pekan lagi ia akan melangsungkan walimah, dan hari ini ia tersadar betapa besar
tanggung jawab berada dipundaknya kelak. Seorang anak kecil mendekat, saat kami
tengah makan siang bersama mereka. Anak
tersebut memperkenalkan diri, Anisa namanya. Viona yang berperangai sangat lembut adalah orang paling
tepat diantara kami untuk menyambut anak tersebut.
“Iya..
Nisa, gimana
makanannya? Anisa suka
ngga?”
“Anisa
suka makanannya teh, tapi boleh ga Nisa
minta sesuatu?”
“insyaAllah
kalau teteh bisa, Anisa pengen apa?”
“Aku
suka banget denger suara ngaji teteh pas acaranya mau mulai. Anisa boleh kan minta diajarin?”
“subhanallah, boleh banget say.. kapan Nisa mau mulainya?”
“subhanallah, boleh banget say.. kapan Nisa mau mulainya?”
“hm,
kalau Nisa ikut teteh ke rumah boleh ga?”
“lho
kenapa ikut pulang? Kasian temen-temennya nanti nyariin Nisa.. Bunda-bundamu
disini juga nanti kehilangan Nisa…”
“Kita
belajarnya disini aja yah bareng temen-temen yang lain, nanti teteh yang dateng
kesini tiap minggu.. gimana?
Nisa mau?”
“tapi
Nisa pengen tau ibu teteh kaya gimana, pasti cantik deh kaya teteh.. Pinter
ngaji lagi..”
“Nisa
sekarang kelas berapa?”
“Nisa
kelas 2, dulu umi sempet ngajarin Nisa TK sampe iqra 4. Tapi semenjak umi sama abi ga ada,
Nisa lupa deh” “kalo mau bobo, dulu Nisa suka dibacain
Arrahman sama umi. Ngajinya
mirip banget sama teteh.”
(Matanya mulai
berkaca-kaca). “aku
kangen umi, aku pengen dibacain qur’an
lagi kalo mau tidur.”
“hm,
Ok.. Nisa boleh ikut ke rumah teteh, tapi boleh teteh minta sesuatu? Nisa harus janji sama Teteh, suatu
hari nanti Nisa bakal bisa hafal qur’an,
gimana?”
“Teteh
mau ngajarin Nisa sampe hafal qur’an?
Asiiiik Ni..nisa mau teh, biar nanti Allah ngasih mahkota sama umi di syurga”
“lho
ko Nisa udah tau? Pasti denger dari ustadz yah?”
“dulu
Umi pernah bilang
gitu sama Nisa teh.”
“Subhanallah mi, anak itu semangatnya
luar biasa. Kalah jauh aku sama dia”,
komentarnya saat ia menceritakan kembali percakapan tersebut. “Sementara kita berleha dengan semua
fasilitas yang ada, melupakan prestasi tertinggi kita di dunia untuk bisa
menjadi hafidz”. Sebegitu dalam alam bawah sadarnya
menangkap arti penting Al-Qur’an
sebagai pesan cinta. Ibunya
menanamkan pesan “Arrahman” sebagai pengantar cinta tidurnya. Bahkan diusianya yang sangat dini ia
paham arti sebuah cita-cita mulia. Cita-cita membahagiakan kedua orang tuanya
meski mereka telah berada di dunia yg berbeda. Dia paham bagaimana sebuah cinta dapat
tercurahkan melampaui batas dua alam.
Esok harinya,
kami berkumpul untuk
evaluasi dan
penyusunan laporan kegiatan. Beragam
cerita menarik seputar kegiatan kemarin tersampaikan disana. Hingga sampailah kita pada pembicaraan
yang lebih kompleks. Pertanyaan yang melandasi pembicaraan kali ini adalah, apa
yang dibutuhkan seorang anak yatim-piatu sebenarnya bukan untuk sekedar hidup.
Mereka memiliki cita-cita yang tak kalah tinggi dengan kami, namun halangan
yang mereka hadapi bukanlah sekadar terbatasnya dana. Dukungan moril, tekanan
sebuah ”identitas diri”, serta pembangunan akhlak tanpa cinta
sebagai dasar kualitas hidup akan menghambat mimpi mereka. Disinilah peran orang tua sebagai
pendidik sangat berpengaruh. Sementara
banyak manusia penuh cinta membiarkan waktu dunianya terbuang, membiarkan
ceritanya dibiarkan
mengalir seperti air.
Akhirnya kami
memutuskan untuk membuat tindak lanjut terhadap perkembangan moral mereka. Kami
menjadwalkan pelatihan coach untuk setiap anggota rohis.
Masing-masing kami akan memegang 2-3 anak yatim untuk kami dampingi. Kebetulan
salah satu dari kami merupakan coach
bersertifikat, kami
serahkan semua perihal modul kepadanya. Kami ingin mereka memiliki tujuan
hidup, lalu kami membimbing jalan yang harus mereka tempuh. Usia anak paling kecil yang kami coach
adalah 7 tahun, dan ia adalah Anisa.
Hari demi hari
terasa lebih berarti untuk kami jalani. Pembekalan coach yang kami ikuti tak hanya menyadarkan
mereka, namun juga kami sebagai generasi muda. Jangankan untuk mengenali
potensi seseorang, potensi diri pun belum kita ketahui secara menyeluruh. Apa yang dapat kami sumbangkan pada
dunia harus sesuai dengan kemampuan berlian yang kita miliki, barulah hal itu
dapat menjadi luar biasa. Disinilah aku menemukan siapa diriku, dan apa
potensiku.
Malam ke 12
setelah program pembekalan, kami disuruh untuk mengemukakan apapun yang kami
pendam kepada orang tua kami. Khususnya
berkaitan dengan cita-cita yang terpendam. Aku dibuat bingung luarbiasa, keringat
dingin mewarnai gelisahnya hati ini. Cita-cita
yang terpendam, sebenarnya aku pernah mengemukakannya pada mereka. Namun mereka
tak mendukung apa yang aku inginkan, hingga aku mengikuti keinginan mereka
dengan banyak pertentangan dalam hati. Jurusan yang aku lalui kini, bukanlah
mudah untuk dilalui dengan segala kekurangan yang mendasari sifatku semenjak
kecil. Hingga sering kali
aku menjudge ketidak pahaman mereka atas diriku. Karena
tidak berani mengungkapkan secara langsung, akhirnya aku pun
menyampaikannya lewat tulisan.
“Ummu, Abu… terimakasih banyak telah mengurus teteh dengan penuh kesabaran.
Teteh ga tau gimana caranya bisa ngebales semua kebaikan ini. Selama ini teteh cuma bisa berusaha
menuruti apa yang Ummu&Abu mau sebisa mungkin. Teteh enggan liat Ummu dan
Abu sedih karena perlakuan teteh, liat Ummu&Abu seneng teteh baru bisa
ngerasa seneng. Tapi
semenjak teteh masuk kampus, teteh ngerasa banyak perubahan yang buruk dari
diri sendiri. Teteh mulai
banyak ngebantah perkataan Ummu&Abu.
Teteh minta maaf
sering menyakitkan hati, terutama Ummu. Setelah direnungkan, semua perubahan
ini berawal saat teteh ngerasa Ummu&Abu ga pernah ngerti keinginan teteh.
Teteh ngerasa berkhianat sama diri sendiri, juga sama Ummu&Abu. Diri ini
ngerasa ga mampu ngikutin apa yang Ummu&Abu mau, tapi teteh juga ngerasa
mengkhianati semua kasih sayang Ummu&Abu yang terlampau dari kata cukup.
Dari hasil pembekalan coaching
yang teteh ikutin,
ternyata bakat teteh ada di psikologi/self development karena sifatnya lebih cenderung
humanis. Semoga Ummu&Abu ngerti kenapa teteh belum bisa ngasih
prestasi berarti disini. Bahkan
sering ngebandel urusan selain kuliah, tapi semua ini muaranya hanya satu. Cintaku untuk membuat kalian bangga
dengan caraku.”
Hening sejenak
setelah kumenulis cuplikan hati. Mulai
ku mengingat episod demi episod masa kecil yang membahagiakan sekaligus
memalukan. Dimana aku
selalu membuat orang tuaku memendam amarah. Seperti saat aku melumuri pakaiannya
dengan beragam kotoran tanpa sengaja, saat ku meramaikan dapurmu dengan sampah
yang berserakan, saat rengekanku memaksanya
untuk membeli gaun di mall besar, saat kumemaksa untuk memasuki mandi
bola&arena permainan. Namun
ku tak mampu melupakan saat dimana kami tertawa bahagia, hanya karena sebuah
ayunan. Aku dan adikku saling menjatuhkan diri berulang kali karena berusaha
menaiki ayunan yang sama dalam satu waktu, lantas ibuku yang mengawasi turut
tertawa bersama kami untuk waktu yang lumayan lama. Semua baying-bayang ini
membuatku merindukan mereka. Ah, nampaknya aku kan menemui mereka akhir pekan
ini.
Hari minggu
walimah Viona pun dilangsungkan. Kami
turut berbahagia dengan mereka. Viona
adalah sahabat sejatiku semenjak SMP, hingga akhirnya kumelihatnya lebih dulu
berdiri di pelaminan. Banyak
kerabat lama yang turut datang, silaturahmi pun terjalin kembali. Ada seorang
teman SMP kami yang kini teloah memiliki perusahaan travel internasional, ia memulai karirnya di usia 19tahun.
Ghani, masa lalunya tak ada yang spesial di
mata kami hingga kami
melihatnya kini telah menjadi pebisnis sekaligus trainer yang hafal 26 juz
Al-Qur'an. Oleh karena itu kami cukup terkejut
dengannya. Setelah
bertukar cerita, kami pun
akhirnya saling bertukar
nomer kontak.
Seusai acara
walimah aku pun pulang ke rumah orang tuaku di Garut. Betapa angan masa kecil
membuatku merindukan mereka, seraya berharap mereka kini mengerti apa yang
sebenarnya aku pendam tiga setengah tahun ini. Mereka yang tak kukabari soal
kedatanganku, menyambutku dengan terkejut. Menumpahkan kerinduan di depan pintu
istana kami, yang menjadi saksi manis-pahit kisah keluarga ini.
“Subhanallah, teteh
kenapa ga kasih kabar mau dateng hari ini?”
“Teteh sengaja
bikin kejutan buat Ummu dan Abu. Ummu, Abu.. kalian sehat kan?”
“Ini lho teh…” (suara Ummu dipotong oleh Abu)
“Alhamdulillah,
sehat teh. Teteh gimana?”
“(hatiku mulai
ragu dengan jawaban Abu), Alhamdulillah wa syukurillah”
Kami
berbincang-bincang sore itu hingga malam pun tiba. Setelah solat isya
berjamaah, tibalah perbincangan kami pada permasalahan surat yang dua hari
lalu kukirimkan. Suasana pun berubah
dalam waktu singkat. Mereka
berterima kasih terlebih dahulu kepadaku, lalu membenahi niat awal mereka
memasukanku ke jurusan ini.
“Teh, Ummu dan Abu sudah mengerti kekuranganmu
semenjak kecil. Namun kami tak ingin membiarkan kekurangan tersebut terus
bersembunyi dibalik kelembutan hatimu, dibalik cerdasnya otakmu, dibalik
kegigihanmu menjadi manusia berguna. Teteh
yang ceroboh, pelupa, lelet, ga fokus & ga mandiri. Semua Ummu tau bahkan semenjak teteh
berumur satu tahun. Saat teteh diberi satu barang di tangan kanan lalu Abu
simpan barang lain di tangan kirimu, kau lepas yang di tangan kanan. Teteh cuma
bisa fokus ke satu hal, akibatnya teteh ceroboh.” “Kami ingin setelah teteh berkecimpung
di jurusan ini, semua kekurangan itu akan berkurang dengan perlahan. Meski kami
mengerti itu akan sangat sulit. Sekolah di sebuah jurusan bergengsi dengan
nyawa sebagai taruhan, dan menuntut fokus saat bekerja.”
“(aku terdiam
sesaat) Tapi setelah tiga setengah tahun ini teteh ngerasa kekurangan teteh
masih sama Mu..”
“(Ummu
tersenyum) Coba kamu perhatikan sekarang penampilanmu, sekarang jadi rapi,
termasuk caramu menyusun isi dalam tas. Dari sana pun orang sudah menilai kamu
orang yang rapi dan tidak ceroboh. Saat teteh berada disini teteh jadi suka
membantu Ummu, itu menandakan teteh beranjak mandiri. Meski lelet dan fokusnya masih belum
Ummu liat perubahannya, ini tetap perkembangan yang mesti diapresiasi.”
“Mengenai
jurusan psikologi, Abu minta maaf. Abu
pun pernah diberi tahu bahwa bakat kamu saat SMP oleh psikolog di sekolahmu
adalah disana. Namun Abu tak yakin akan masa depanmu, dengan jurusan tersebut.
Abu baru mengerti bahwa ‘tukang
sampah’ berbakat
dibidangnya pun bisa menjadi jutawan dengan bakatnya, sistem yang dibangunnya,
dan penjiwaan didalamnya.”
Abu menambahkan.
“Kalau
teteh pengen pindah jurusan pun, sekarang sudah terlambat Abu. Beberapa bulan lagi teteh akan menjalani
sidang. Teteh cuma pengen Ummu dan Abu tau yang sebenernya. Teteh butuh dukungan penuh dari Ummu
dan Abu, teteh merasa sangat lemah disini.”
“Kalau
teteh mau lanjut S2 di psikologi, Abu akan dukung. InsyaAllah Abu masih kuat
untuk menafkahi”
“Makasih
Ummu, Abu.. mau ngerti
keinginan teteh. Meski sebelumnya teteh banyak menuntut, tapi yang satu ini
teteh janji ini yang terakhir kalinya.”
“Ga
usah terpaku teh, selama kami bisa apa si yang engga buat anakku tercinta?” sahut Ummu.
Sambil
menahan air mata haru, akupun memeluk mereka erat.
Semalam
berlalu, adikku yang kemarin tak hadir karena mengikuti kegiatan Pamuka pun pulang.
Ia menceritakan
pengalamannya sebagai Ketua DKR kepada kami. Ia adalah Fasya, siswi kelas satu
sebuah SMK di Garut. Keaktifannya beberapa bulan terakhir, membuat dirinya
menjadi ketua Dewan Kerja Ranting kecamatan meskipun belum memasuki syarat sebagai
bantara. Melihat semangatnya,
kami turut bahagia. Setidaknya ia dibutuhkan oleh anggota Pramuka di kecamatan.
Namun ada sedikit kekhawatiran yang mengganggu. Aku takut jika ia tak dapat
bertanggung jawab sebaik mungkin. Karena usia mudanya yang belum mencapai
persyaratan sebagai ketua, serta pengalamannya yang baru seumur jagung di dunia
Pramuka. Namun tak halnya dengan orang tuaku, mereka mendukung penuh Fasya. Sedikit cemburuku timbul padanya. Aku terbilang lebih aktif darinya,
namun mereka menyambut dengan batasan2 yang menyempitkan gerakku. Setelah kupikir ulang, sifat dasar
kami berbeda. Fasya adalah
pemalas yang harus mendapat dorongan lebih untuk bisa berkembang. Sementara untukku mereka tak harus
mendorong pun bahkan semangatku harus dibatasi untuk organisasi tertentu yang
menyita waktu untuk belajar. Masih
terngiang jelas ungkapan mereka, "Teteh belajar ko sisa waktu?? Kalau cape emang masih fokus
yah?!!"
Setelah
beragam perbincangan selama dua hari ini aku baru menyadari. Orang tua tak bisa
selalu memenuhi apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan.
Seperti halnya Allah yang menguji kita. Tujuannya tak lain untuk perbaikan dan
mengembangkan kualitas diri dalam menghadapi beragam persoalan.
Menjelang
sore, aku dan adikku bertukar cerita di halaman belakang. Hingga kabar abu yang sebenarnya
terungkap. Kecurigaanku
muncul saat pertama menanyakan kabar. Ummu menyembunyikan penyakit yang di
derita Abu,
"Awalnya
abu pingsan dua bulan lalu, ga ada yang tau kenapa. Hari jum'at kemaren, abu pingsan lagi
yang ke 4kalinya. Abu
akhirnya dibawa ke rumah sakit, dan ternyata abu didiagnosa gejala leukimia
teh. Karena surat yang teteh kasih, abu minta ummu untuk ga ngasih tau teteh. Supaya teteh fokus
belajar sampai sidang nanti. Abu
ga mau nambah beban pikiran teteh, setelah tau sebenernya teteh ga bisa fokus
belajar di kedokteran karena hal itu."
"Innalillahi
wainnailaihi rajiuun, terus dokter ngasih terapi apa? biaya pengobatannya
gimana?"
"Selama
ini kita dibantu sama kantor abu teh, tapi jumlahnya ga seberapa kalo
dibandingin total biaya pengobatan."
"Terus
biaya kuliah kemaren? Sekolah ade? Abu dapet dari mana?"
"Ummu
ga cerita si teh, tapi perhiasan yang ummu pake aku udah ga liat lagi."
"MasyaAllah
de, kabar sepenting ini ko teteh ga tau."
"Teteh
jangan bilang2 sm abu/ummu yah, anggep aja teteh ga tau apa2. Teteh fokus aja
selesein skripsi, sok ade bantu doa lah! semanget teh!(memelukku yang tengah
menahan tangis)"
"Iya,
makasih de... makasih banyak"
Seketika itu
aku merasa menjadi anak durhaka, membiarkan mereka mengetahui keluh kesahku. Terlebih mengabulkan keinginanku untuk
melanjutkan kuliah lagi. Padahal
saat ini pun kuliahku tengah terancam, karena bukan rahasia lagi kalau jurusan
ini butuh biaya yang besar.
Tak ada
pilihan lain, aku harus mengubur keinginanku untuk mengasah bakat terpendam
yang pernah disinggung beberapa psikolog yang aku kenal. Sekalipun aku sangat
ingin untuk menjadi psikolog dan memberi terapi untuk anak-anak jalanan, aku
tak boleh egois. Bahkan orangtuaku nyatanya tidak sama sekali egois, meski
3taun terakhir aku dibuat berprasangka seperti itu. Aku resmi menguburnya,
walau belum aku mengatakan pada mereka.
Pagi keesokan
harinya, aku berkemas untuk kembali ke bandung. Berat rasanya meninggalkan
mereka, terutama Abu yang kini tengah sakit. Sebelum berangkat, tak biasanya Ummu
membuatkanku teh hangat. Seingatku,
itu beliau lakukan saat aku masih kecil karena takut aku masuk angin. Karena sewaktu kecil aku mabuk daratan.
Akhirnya bus jurusan Bandung-Garut memisahkanku dengan Fasya yang kali ini turut mengantarku sampai
terminal. Ternyata Ummu menyelipkan album foto ke dalam tasku, yang baru aku
sadari setelah sampai di kosan.
Fuhh, senandung "kubuka album
biru" terputar dibenakku. Banyak
foto masa kecilku bersama Fasya yang tak asing lagi, namun kini aku baru
melihat ada catatan2 kecil di sampingnya. Membacanya satu persatu, membuat
hatiku semakin teriris. Ah, rasanya aku ingin kembali berada di tengah mereka
saat ini juga. Mataku menghangat, mengingat kasih sayang mereka yang kudustakan
selama ini. Tak banyak
orang tua mampu bersikap bijak terhadap amarahnya dengan baik, padahal
keteledoran2ku sangatlah banyak. Berulang
kali mereka mengingatkanku, berulang kali pula aku mengulangi kecerobohanku. Hingga aku terpaku pada sebuah foto,
dasarnya hitam dengan kode-kode dipinggir bawahnya. Aku mengenalinya, ini adalah photoscan seorang janin dalam kandungan. Fotoku dan adikku, diletakkan
bersebelahan. Isi
pesannya adalah harapan ummu agar kami mampu meraih mimpi besar yg banyak
dicita2kan orang.
Tak
kusangka Allah memilihkan kedokteran sebagai bidang studiku karena doa ini.
Meski banyak keluh kesah dibibir, getaran tuk berbuat yang terbaik untuk orang
tua tak pernah pudar dari benakku. Hingga
ku tersadar semua terjadi karena cinta, yang ummu tanam semenjak kami berada
dalam kandungan. Hatiku
menggebu menagih tanggung jawabku terhadap kasih sayangnya. Tak ada pilihan
lain, aku harus berprestasi di bidang kedokteran. Otakku terlanjur gila untuk
berusaha lebih gila membuat impian mereka menjadi nyata.
Anisa
kini telah resmi menjadi anak angkat Viona dan suaminya, Syarif. Keluarga kecil yang dirahmati Allah,
yang berkumpul atas
kerinduan untuk menemuiNya. Dengan
semangat Qur’ani, mereka
saling mengisi. Saling
membantu dalam mengkaji, mengamalkan, dan menghafalkan Qur’an. Kedua orang tua angkat Anisa
adalah seorang hafidz, hingga Nisa dapat kembali merasakan hangat kasih qur’ani yang sempat tercurah pada usia
emasnya. Viona kini menggantikan uminya untuk melantunkan surat qur’an setiap kali Anisa hendak tidur.
Sebelumnya orang tua kandung Anisa bukanlah seorang hafidz seperti mereka,
namun semangat qur’aninya
mengantarkan anak ini pada jalan menuju hafidz melalui Viona dan Syarif.
Sore itu, tepat sebulan setelah pernikahan Viona aku
hendak berkunjung ke rumahnya. Selama perjalanan aku menikmati
ingatan epiosode yang kami lalui bersama saat menghafal Al-Qur'an. Kami mulai
menghafal bersama dan lulus menjadi hafidz bersama dalam satu waktu. Rasa
penasaran tentang kabar hafalan Anisa menggelayuti pikiranku. Gadis
kecil yang membuat kami iri dengan semangatnya. Ia telah
menginspirasi kami untuk mencetak hafidz-hafidz baru lebih giat lagi, terutama
teman sepantinya. Mencetak generasi muda berkualitas.
Saat aku memasuki rumahnya, betapa haru melihat
tempelan-tempelan gambar kaligrafi di
setiap sudut ruangan. Subhanallah, anak itu benar-benar anugrah yang terindah
untuk mereka. Rumah yang sama saat kami belajar bersama Viona, kini
menjadi madrasah bahkan bagi teman-teman Anisa. Beberapa
hari ini rumahnya menjadi basecamp ke dua
program coaching yang kami berikan untuk anak-anak
panti. Tempat mereka bermain dengan Anisa, serta menyetor hafalan qur’an.
Aku berbincang-bincang tentang banyak hal. Kini
Anisa sudah menghafal setengah juz 30, subhanallah. Dia yang
paling semangat diantara teman sebayanya. Singkat
cerita, Viona mengabarkan bahwa Anisa kini memiliki adik. Viona kini akan
memiliki anak kandung pertama, meski baru berumur beberapa minggu. Tak lupa ia
menceritakan program pendidikan yang ia rancang dengan suaminya. Aku pun turut
ambil peran untuk menceritakan pengalamanku. Karena sosok ibu adalah orang yang
paling dipercaya semenjak anak berada di dunia, ia harus memberi dasar
pendidikan yang berkualitas sebagai wadah kehidupan anaknya
kelak.
Dasar keluargaku memang bukan keluarga yang kaffah,
lantunan musik korea, barat bahkan musik remix khas
dugem masih terkadang menghiasi rumah mungil kami. Namun yang orang tuaku
tanam, kami tak boleh sembarang memilih idola. Rasulullah saw adalah idola
utama, itu yang mereka tekankan semenjak kecil. Hingga kami tak pernah
melampaui batas, dan menuruti syariat agama. Meski
aku termasuk yang kurang setuju dengan selera musik adikku yang satu ini. Saat
kami masih balita bahkan orang tuaku mulai sering memutarkan lagu nasyid dan
lagu anak-anak untuk kami, yang hal ini akhirnya lebih terserap olehku. Semenjak
SD aku mengidolakan Raihan, grup nasyid asal Malaysia. Hingga track
list musik di masing-masing gadget kami
beradu antara nasyid-korea-barat-dangdut&sunda (ummu&abu)-Instrumental,
bahkan muratal. Lucunya jika setelah mendengar lagu remix langsung
berputar Asmaul husna yang diawali dengan “astaghfirullaah…~”
Ketika zona nyaman anak telah diciptakan sedemikian
rupa dalam koridor yang benar, sebengkok apapun teman-teman disekelilingnya ia
akan kembali pada zona nyaman tersebut. Ibu termasuk perancang sifat manusia
ternama di seantero jagat raya, yang bahkan namanya dihormati dalam Al-Qur’an.
Jika sang ibu salah menciptakan zona nyaman di usia emas anaknya, maka jangan
heran jika kelak ia akan sangat sulit untuk diatur. “Ummu al madsrasatul ula”,
ibu adalah guru pertama yang merancang kaki-kaki bidang keilmuan yang akan
menghiasi kehidupan sang anak.
Soal program beasiswa S2 yang aku
ikuti kini tak luput dari bahasan kami. Aku hendak melanjutkan studi di Jepang.
Hasilnya telah keluar sehari yang lalu, dan aku pun telah mengabarkan kedua
orang tuaku. Tentu saja mereka yang mendengar kabar ini akan terkejut,
mengingat tekadku yang semula 'ogah-ogahan' kini telah melampaui teman-temanku.
Ku mengucap syukur pada Allah SWT, sekaligus berterima kasih atas dukungan
Viona yang mampu membuatku bertahan tanpa melupakan kualitas belajar sampai
akhir S1-ku. Kini aku kan mencari Viona lain di belaha bumi yang asing bagiku,
semoga Allah mempertemukan dengan keimanan.
Tak terasa jua perbincangan kami telah menghabiskan
banyak waktu. Aku pun hendak
berpamitan untuk pulang meninggalkan
keluarga kecil ini. Namun
sebelum beranjak, Viona mencengkram lenganku seraya mengisyaratkanku
tuk kembali duduk. Ia menyodorkan sebuah map dari bawah
meja ruang tamu padaku, “Ini, barangkali kau bersedia mempertimbangkannya
sahabatku..”. Saat kubuka, kulihat foto teman SMP kami yang kini memiliki
perusahaan travel mancanegara di sudut kiri atas. Aku baru menyadari apa yang
terjadi setelah melirik baris pertama. Ini adalah proposal nikah darinya, untukku.
--Tamat--
penulis : silmi fadilah