Kamis, 05 Desember 2013

NEMATODA USUS

Disusun oleh:
Diti Y. Pratama
Fenny Syafrianti
Nala Syarifah
Silmi Fadhilah Y
Sri Haryanti
Poppi
Putri
Rima Waroka
Taufik Galih
The Lingda
BAB 1
PENDAHULUAN
1.       Latar Belakang
Spesies Nematoda usus banyak ditemukan di daerah tropis termasuk Indonesia dan tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan bagi  masyarakat Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang tercemar oleh cacing. Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama anak-anak dan balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan balita maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi terjadi pada orang dewasa dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoidesTrichuris  trichiura dan Ancylostoma sp(cacing tambang).
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan.(Mardiana, 2008). Penularan cacingan lebih banyak terjadi pada daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi lingkungan yang ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan dapat menyebabkan kekurangan gizi yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup.
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoidesAscaris lumbricoides adalah salah satu spesies nematoda usus yang banyak menyerang manusia, hampir 25% populasi penduduk dunia, yaitu lebih dari 1,4 miliar orang telah terinfeksi cacing ini. Berdasarkan hasil penelitian Lamghari (2005), disertai dengan hasil studi epidemiologi, ditemukan adanya hubungan antara penyakit Ascariasis pada anak dengan tempat tinggal mereka yang dekat dengan air limbah. (Wani, 2010)
1.       Tujuan
2.      Mengetahui klasifikasi dari nematoda parasit usus.
3.      Mengetahui morfologi nematoda parasit usus.
4.      Mengetahui siklus hidup nematoda parasit usus.
5.      Mengetahui patologi penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
6.      Mengetahui epidemiologi dan distribusi geografis penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
7.      Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.




BAB II
PEMBAHASAN
Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus.  Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, yang banyak ditemukan didaerah tropis dan tersebar diseluruh dunia. Spesies tersebut diantaranya Ascaris lumbricoides,Toxocara canisToxocara catiEnterobius vermicularis, Necator americanus,Ancylostoma duodenale,  Strongyloides stercoralisTrichuris trichiuraTrichinella spiralisAncylostoma branzilienseAncylostoma caninum , dan Ancylostoma ceylanicum.

1.     Ascaris lumbricoides (cacing gelang)
A.1. Klasifikasi
Phylum      :           Nemathelminthes
Class          :           Nematoda
Subclass    :           Secernentea
Ordo          :           Ascaridida
Famili        :           Ascarididae
Genus        :           Ascaris
Species      :           Ascaris lumbricoides

A.2. Morfologi
Gambar morfologi Ascaris lumbricoides (terlampir)
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi pepil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus, dan 1/3 pada anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris lurus.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron, dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila terbentuknya oval melebar, mempunyai lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol, dan umumnya berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnya dapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50 μm. Telur yang belum dibuahi umumnya lebih oval dan ukuran panjangnya dapat mencapai 90 μm, lapisan yang berbenjol-benjol dapat terlihat jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30◦ C. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu.

A.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Ascaris lumbricoides (terlampir)
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.
Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 (dua) bulan.

A.4. Patologi
Gejala yang timbul pada manusia disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru-paru. Pada orang yang rentan terjadi pendarahan ringan di dinding alveolus disertai batuk, demam, dan eusinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa menyebabkan penderita terkadang mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memeperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendik, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan kooperatif.



A.5. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya 60-90%. Kurangya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah bahkan di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25o-30o C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.

A.6. Pencegahan dan Pengendalian
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
§   Hendaknya pembuangan tinja (feses) pada W.C. yang baik.
§   Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan.
§   Penerangan atau penyuluhan melalui sekolah, organisasi   kemasyarakatan oleh guru-guru dan pekerja-pekerja kesehatan.
§  Hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan memutus siklus hidupAscaris lumbricoides. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidupAscaris lumbricoides ini. Kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga oleh masyarakat dapat menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, di bawah pohon dan di tempat-tempat pembuangan sampah. Upaya pengendalian juga dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti yang diberikan secara perorangan maupun massal.

A.7. Pengobatan
Obat lama yang pernah digunakan adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkimol, dan hetrazam.

2.     Enterobius vermicularis (cacing kremi)
B.1. Klasifikasi
Phylum     :           Nemathelminthes
Class         :           Nematoda
Subclass   :           Secernentea
Ordo         :           Oxyurida
Famili       :           Oxyuroidea
Genus       :           Enterobius
Species     :           Enterobius vermicularis

B.2. Morfologi
Gambar Enterobius vermicularis (telampir).
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar, dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum.

B.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Enterobius vermicularis (terlampir)
Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi dewasa biasanya adalah coecum, dan bagian usus besar dan usus halus yang berdekatan dengan coecum. Cacing betina yang hamil, yang mengandung kira-kira 11.000 butir telur pada malam hari bermigrasi ke daerah perianal dan perineal, tempat telurnya dikeluarkan dalam kelompok-kelompok dengan kontraksi uterus dan vagina karena rangsangan suhu yang lebih rendah dan lingkungan udara. Telur menjadi matang dan infektif beberapa jam setelah dikeluarkan. Telur jarang dikeluarkan di dalam rongga usus maka pemeriksaan tinja tidak penting. Bila telur ditelan, larva stadium pertama menetas di dalam duodenum.

B.4. Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan proritusani maka penderita menggaruk daerah di sekitar anus. Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan pada daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan radang di saluran telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat marah, insomnia, gigi menggeretak dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.

B.5. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan bebarapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus, bak mandi alas kasur, pakaian dan tilam. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa enterobiasis sering menyerang pada anak usia 5-9 tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Penularan dapat dipengaruhi oleh :
1.       Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-baenda maupun pakaian yang terkontaminasi.
2.      Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
3.      Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas disekitar anus kembali masuk ke usus.
Anjing dan kucing tidak mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Frekuensi di Indonesia tinggi terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.

B.6. Pencegahan dan Pengendalian
Penularan enterobiasis dapat melalui tangan, debu ataupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya:
§  Menjaga kebersihan diri sendiri.
§  Kuku sebaiknya pendek dan selalu cuci tangan sebelum makan.
§  Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit.
§  Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari.
§  Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.
B.7. Pengobatan
Upaya pengobatan dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan seperti pyrantel pamoat, mebendazol ataupun albendazol.

3.          Necator americanus  dan  Ancylostoma duodenale (cacing tambang)
C.1. Klasifikasi
Klasifikasi Necator americanus
Phylum     :           Nemathelminthes
Class         :           Nematoda
Subclass   :           Adenophorea
Ordo         :           Enoplida
Famili       :           Rhabditoidea
Genus       :           Necator
Species     :           Necator americanus

Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum     :           Nemathelminthes
Class         :           Nematoda
Subclass   :           Secernentea
Ordo         :           Rhabditida
Famili       :           Rhabditoidea
Genus       :           Ancylostoma
Species     :           Ancylostoma duodenale

C.2. Morfologi
Gambar  Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (terlampir)
Cacing tambang dewasa berbentuk silindris, cacing betina berukuran 9-13 mm sedangakan cacing jantan berukuran 5-10 mm bentuk Necator americanus berbentuk seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk seperti huruf C. Rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus mulut dilengkapi dengan gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Cacing jantan pada kedua cacing ini, ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus dan lancip. Secara morfologis kedua spesies cacing dewasa ini mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh, rongga mulut dan bursa kopulatriksnya).


C.3. Siklus hidup
Telur kedua cacing ini, keluar bersama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform kemudian dalam waktu sekitar 3 hari, larva rabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif). Larva filariform dapat tahan di dalam tanah selama 7-8 minggu. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan.
Siklus hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.

C.4. patologi
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu:
1.       Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariformAncylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak
2.        Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun.

C.5. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americans 280-320 C, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (230-250C). Pada umumnya Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu.

C.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan:
§  Menghindari kontak langsung dengan tanah dan tempat kotor lainnya.
§  Hendaknya pembuangan feses pada tempat/WC yang baik.
§  Melindungi orang yang mungkin mendapat infeksi.
§  Pemberantasan melalui perbaikan sanitasi lingkungan
§  Hendaknnya penggunaan tinja sebagai pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut sudah dicampur dengan zat kimia tertentu untuk membunuh parasitnya.
§  Penerangan melalui sekolah-sekolah.
§  Menjaga kebersihan diri.
§  Selalu menggunakan sandal atau alas kaki ketika bepergian.
§  Meminum vitamin B12 dan asamfolat.
Pengendalian:
Pengendalian dilakukan dengan cara pengobatan. Pengobatan yang dilakukan yaitu melalui obat pilihan bernama tetrakloretilen (juga infektif untuk Ancylostoma duodenale ).
C.7. Pengobatan
Obat lain yang bisa digunakan adalah mebendazol, albendazol, pirantelpamoat, bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat.

4.      Trichuris trichiura (cacing cambuk )
D.1. Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum     :           Nemathelminthes
Class         :           Nematoda
Subclass   :           Adenophorea
Ordo         :          Enoplida
Famili       :           Trichinelloidea
Genus       :           Trichuris
Species     :           Trichuris trichiura

D.2.  Morfologi
Gambar Trichuris trichiura (terlampir)
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.

D.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Trichuris trichiura (terlampir)
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.

D.4. Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.

D.5. Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90%.
D.6. Pencegahan dan Pengendalian
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apa lagi dinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.

D.7. Pengobatan
            Pengobatan efektif dengan mebendazol, pirantel, dan albendazol.









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cacing Nematoda usus merupakan cacing parasit yang distribusi geografisnya kosmopolit yang menjadi permasalahan tersendiri bagi kesehatan masyarakat dunia. Hospes dari spesies cacing Nematoda parasit usus ini kebanyakan adalah manusia, tetapi beberapa diantaranya ditemukan pada hewan seperti  Toxocara canishospesnyaanjing; Toxocara cati pada kucing; Ancylostoma branzilienseAncylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicumditemukan pada anjing dan kucing serta Trichinella spiralis yang ditemukan pada tikus, babi, beruang, kucing, anjing dan babi hutan. Apabila cacing tersebut telah berinvestasi pada tubuh hospesnya maka akan menimbulkan beberapa gangguan dan penyakit pada sistem tubuh tetapi cenderung mempertahankan kehidupan hospesnya.
Di antara Nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan  disebut ‘soil transmitted helmints’. Tingginya infeksi cacing usus di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya disebabkan oleh iklim tropis yang lembab, sanitasi perseorangan dan lingkungan yang kurang baik, pendidikan yang rendah, sarana jamban keluarga yang kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Penularan cacing Nematoda parasit usus yaitu :
§  Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Toxocara canis, Toxocara cati dan Enterobius vermicularis.
§  Larva infektif masuk melalui kulit : Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang.
§  Telur matang masuk melalui mulut : Trichuris trichiura.

Pencegahan yang perlu dilakukan oleh masyarakat agar tidak terinfeksi oleh cacing nematoda parasit usus ini yaitu sebagai berikut :
§  Menjaga sanitasi lingkungan, kebersihan perseorangan, dan kebersihan hewan peliharaan.
§  Menambah pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, yang dapat diperoleh dari membaca buku dan  menyimak penyuluhan.
Daftar Pustaka
Dachi, Rahmat A. 2005. Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar Nomor 174593 Hatoguan Terhadap Infeksi Cacing Perut di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir Tahun 2005http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15363/1/mki-des2005-%20(5).pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Entjang, Indan. 2011. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Mardiana, Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah Dki Jakarta. www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/5-Mardiana.pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2000. Parasitologi Medik 1. Jakarta: EGC
Wani, Imtiaz dan Nazir Mir. 2010. Historical Review of Intestinal Ascariasis: Surgical Historyhttp://globaljournals.org/GJMR_Volume10/1-Historical-Review-of-Intestinal-Ascariasis-Surgical.pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2011














LAMPIRAN
1.        Ascaris lumbricoides 
A.     MORFOLOGI
        
B.  SIKLUS HIDUP

2.      Enterobius vermicularis (cacing kremi)
A.     MORFOLOGI


B.     SIKLUS HIDUP
3.      Necator americanus  dan  Ancylostoma duodenale
A.     MORFOLOGI