Sabtu, 15 Maret 2014

cerpen kehidupan


Hafidz, yah! Hafidz-

                Lembayung senja, menjadi saksi perpisahan kami. Kami yang berpencar memendar dakwah tersirat lewat keseharian. Beragam aktifitas telah usai kami lakukan bersama untuk terselenggaranya acara bakti sosial hari ini. Ada banyak hal yang dapat kami bagi sebagai hikmah dari para yatim-piatu. Perbincangan sore ini adalah yang paling mengharuskan diri mengambil hikmah sebagai penutup acara bakti sosial.
                Sebutlah Viona, sahabatku yang sore hari ini benar-benar terispirasi karenanya. Dua pekan lagi ia akan melangsungkan walimah, dan hari ini ia tersadar betapa besar tanggung jawab berada dipundaknya kelak. Seorang anak kecil mendekat, saat kami tengah makan siang bersama mereka. Anak tersebut memperkenalkan diri, Anisa namanya. Viona yang berperangai sangat lembut adalah orang paling tepat diantara kami untuk menyambut anak tersebut.
Iya.. Nisa, gimana makanannya? Anisa suka ngga?
Anisa suka makanannya teh, tapi boleh ga Nisa minta sesuatu?
insyaAllah kalau teteh bisa, Anisa pengen apa?
Aku suka banget denger suara ngaji teteh pas acaranya mau mulai. Anisa boleh kan minta diajarin?
subhanallah, boleh banget say.. kapan Nisa mau mulainya?
hm, kalau Nisa ikut teteh ke rumah boleh ga?
lho kenapa ikut pulang? Kasian temen-temennya nanti nyariin Nisa.. Bunda-bundamu disini juga nanti kehilangan Nisa…” Kita belajarnya disini aja yah bareng temen-temen yang lain, nanti teteh yang dateng kesini tiap minggu.. gimana? Nisa mau?
tapi Nisa pengen tau ibu teteh kaya gimana, pasti cantik deh kaya teteh.. Pinter ngaji lagi..                        
Nisa sekarang kelas berapa?
Nisa kelas 2, dulu umi sempet ngajarin Nisa TK sampe iqra 4. Tapi semenjak umi sama abi ga ada, Nisa lupa deh kalo mau bobo, dulu Nisa suka dibacain Arrahman sama umi. Ngajinya mirip banget sama teteh. (Matanya mulai berkaca-kaca). aku kangen umi, aku pengen dibacain quran lagi kalo mau tidur.
hm, Ok.. Nisa boleh ikut ke rumah teteh, tapi boleh teteh minta sesuatu? Nisa harus janji sama Teteh, suatu hari nanti Nisa bakal bisa hafal quran, gimana?
Teteh mau ngajarin Nisa sampe hafal quran? Asiiiik Ni..nisa mau teh, biar nanti Allah ngasih mahkota sama umi di syurga
lho ko Nisa udah tau? Pasti denger dari ustadz yah?
dulu Umi pernah bilang gitu sama Nisa teh.
                Subhanallah mi, anak itu semangatnya luar biasa. Kalah jauh aku sama dia, komentarnya saat ia menceritakan kembali percakapan tersebut. Sementara kita berleha dengan semua fasilitas yang ada, melupakan prestasi tertinggi kita di dunia untuk bisa menjadi hafidz. Sebegitu dalam alam bawah sadarnya menangkap arti penting Al-Quran sebagai pesan cinta. Ibunya menanamkan pesan Arrahman sebagai pengantar cinta tidurnya. Bahkan diusianya yang sangat dini ia paham arti sebuah cita-cita mulia. Cita-cita membahagiakan kedua orang tuanya meski mereka telah berada di dunia yg berbeda. Dia paham bagaimana sebuah cinta dapat tercurahkan melampaui batas dua alam.
                Esok harinya, kami berkumpul untuk evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan. Beragam cerita menarik seputar kegiatan kemarin tersampaikan disana. Hingga sampailah kita pada pembicaraan yang lebih kompleks. Pertanyaan yang melandasi pembicaraan kali ini adalah, apa yang dibutuhkan seorang anak yatim-piatu sebenarnya bukan untuk sekedar hidup. Mereka memiliki cita-cita yang tak kalah tinggi dengan kami, namun halangan yang mereka hadapi bukanlah sekadar terbatasnya dana. Dukungan moril, tekanan sebuah identitas diri, serta pembangunan akhlak tanpa cinta sebagai dasar kualitas hidup akan menghambat mimpi mereka. Disinilah peran orang tua sebagai pendidik sangat berpengaruh. Sementara banyak manusia penuh cinta membiarkan waktu dunianya terbuang, membiarkan ceritanya dibiarkan mengalir seperti air.
                Akhirnya kami memutuskan untuk membuat tindak lanjut terhadap perkembangan moral mereka. Kami menjadwalkan pelatihan coach untuk setiap anggota rohis. Masing-masing kami akan memegang 2-3 anak yatim untuk kami dampingi. Kebetulan salah satu dari kami merupakan coach bersertifikat, kami serahkan semua perihal modul kepadanya. Kami ingin mereka memiliki tujuan hidup, lalu kami membimbing jalan yang harus mereka tempuh. Usia anak paling kecil yang kami coach adalah 7 tahun, dan ia adalah Anisa.
                Hari demi hari terasa lebih berarti untuk kami jalani. Pembekalan coach yang kami ikuti tak hanya menyadarkan mereka, namun juga kami sebagai generasi muda. Jangankan untuk mengenali potensi seseorang, potensi diri pun belum kita ketahui secara menyeluruh. Apa yang dapat kami sumbangkan pada dunia harus sesuai dengan kemampuan berlian yang kita miliki, barulah hal itu dapat menjadi luar biasa. Disinilah aku menemukan siapa diriku, dan apa potensiku.
                Malam ke 12 setelah program pembekalan, kami disuruh untuk mengemukakan apapun yang kami pendam kepada orang tua kami. Khususnya berkaitan dengan cita-cita yang terpendam. Aku dibuat bingung luarbiasa, keringat dingin mewarnai gelisahnya hati ini. Cita-cita yang terpendam, sebenarnya aku pernah mengemukakannya pada mereka. Namun mereka tak mendukung apa yang aku inginkan, hingga aku mengikuti keinginan mereka dengan banyak pertentangan dalam hati. Jurusan yang aku lalui kini, bukanlah mudah untuk dilalui dengan segala kekurangan yang mendasari sifatku semenjak kecil. Hingga sering kali aku menjudge ketidak pahaman mereka atas diriku. Karena  tidak berani mengungkapkan secara langsung, akhirnya aku pun menyampaikannya lewat tulisan.
                Ummu, Abu terimakasih banyak telah mengurus teteh dengan penuh kesabaran. Teteh ga tau gimana caranya bisa ngebales semua kebaikan ini. Selama ini teteh cuma bisa berusaha menuruti apa yang Ummu&Abu mau sebisa mungkin. Teteh enggan liat Ummu dan Abu sedih karena perlakuan teteh, liat Ummu&Abu seneng teteh baru bisa ngerasa seneng. Tapi semenjak teteh masuk kampus, teteh ngerasa banyak perubahan yang buruk dari diri sendiri. Teteh mulai banyak ngebantah perkataan Ummu&Abu. Teteh minta maaf sering menyakitkan hati, terutama Ummu. Setelah direnungkan, semua perubahan ini berawal saat teteh ngerasa Ummu&Abu ga pernah ngerti keinginan teteh. Teteh ngerasa berkhianat sama diri sendiri, juga sama Ummu&Abu. Diri ini ngerasa ga mampu ngikutin apa yang Ummu&Abu mau, tapi teteh juga ngerasa mengkhianati semua kasih sayang Ummu&Abu yang terlampau dari kata cukup. Dari hasil pembekalan coaching yang teteh ikutin, ternyata bakat teteh ada di psikologi/self development karena sifatnya lebih cenderung humanis. Semoga Ummu&Abu ngerti kenapa teteh belum bisa ngasih prestasi berarti disini. Bahkan sering ngebandel urusan selain kuliah, tapi semua ini muaranya hanya satu. Cintaku untuk membuat kalian bangga dengan caraku.
                Hening sejenak setelah kumenulis cuplikan hati. Mulai ku mengingat episod demi episod masa kecil yang membahagiakan sekaligus memalukan. Dimana aku selalu membuat orang tuaku memendam amarah. Seperti saat aku melumuri pakaiannya dengan beragam kotoran tanpa sengaja, saat ku meramaikan dapurmu dengan sampah yang berserakan, saat rengekanku memaksanya untuk membeli gaun di mall besar, saat kumemaksa untuk memasuki mandi bola&arena permainan. Namun ku tak mampu melupakan saat dimana kami tertawa bahagia, hanya karena sebuah ayunan. Aku dan adikku saling menjatuhkan diri berulang kali karena berusaha menaiki ayunan yang sama dalam satu waktu, lantas ibuku yang mengawasi turut tertawa bersama kami untuk waktu yang lumayan lama. Semua baying-bayang ini membuatku merindukan mereka. Ah, nampaknya aku kan menemui mereka akhir pekan ini.
                Hari minggu walimah Viona pun dilangsungkan. Kami turut berbahagia dengan mereka. Viona adalah sahabat sejatiku semenjak SMP, hingga akhirnya kumelihatnya lebih dulu berdiri di pelaminan. Banyak kerabat lama yang turut datang, silaturahmi pun terjalin kembali. Ada seorang teman SMP kami yang kini teloah memiliki perusahaan travel internasional, ia memulai karirnya di usia 19tahun. Ghani, masa lalunya tak ada yang spesial di mata kami hingga kami melihatnya kini telah menjadi pebisnis sekaligus trainer yang hafal 26 juz Al-Qur'an. Oleh karena itu kami cukup terkejut dengannya. Setelah bertukar cerita, kami pun akhirnya saling bertukar nomer kontak.
                Seusai acara walimah aku pun pulang ke rumah orang tuaku di Garut. Betapa angan masa kecil membuatku merindukan mereka, seraya berharap mereka kini mengerti apa yang sebenarnya aku pendam tiga setengah tahun ini. Mereka yang tak kukabari soal kedatanganku, menyambutku dengan terkejut. Menumpahkan kerinduan di depan pintu istana kami, yang menjadi saksi manis-pahit kisah keluarga ini.
                Subhanallah, teteh kenapa ga kasih kabar mau dateng hari ini?
                Teteh sengaja bikin kejutan buat Ummu dan Abu. Ummu, Abu.. kalian sehat kan?
                Ini lho teh…” (suara Ummu dipotong oleh Abu)
                Alhamdulillah, sehat teh. Teteh  gimana?
                (hatiku mulai ragu dengan jawaban Abu), Alhamdulillah wa syukurillah
                Kami berbincang-bincang sore itu hingga malam pun tiba. Setelah solat isya berjamaah, tibalah perbincangan kami pada permasalahan surat yang dua hari lalu  kukirimkan. Suasana pun berubah dalam waktu singkat. Mereka berterima kasih terlebih dahulu kepadaku, lalu membenahi niat awal mereka memasukanku ke jurusan ini.
                Teh,  Ummu dan Abu sudah mengerti kekuranganmu semenjak kecil. Namun kami tak ingin membiarkan kekurangan tersebut terus bersembunyi dibalik kelembutan hatimu, dibalik cerdasnya otakmu, dibalik kegigihanmu menjadi manusia berguna. Teteh yang ceroboh, pelupa, lelet, ga fokus & ga mandiri. Semua Ummu tau bahkan semenjak teteh berumur satu tahun. Saat teteh diberi satu barang di tangan kanan lalu Abu simpan barang lain di tangan kirimu, kau lepas yang di tangan kanan. Teteh cuma bisa fokus ke satu hal, akibatnya teteh ceroboh. Kami ingin setelah teteh berkecimpung di jurusan ini, semua kekurangan itu akan berkurang dengan perlahan. Meski kami mengerti itu akan sangat sulit. Sekolah di sebuah jurusan bergengsi dengan nyawa sebagai taruhan, dan menuntut fokus saat bekerja.
                (aku terdiam sesaat) Tapi setelah tiga setengah tahun ini teteh ngerasa kekurangan teteh masih sama Mu..
                (Ummu tersenyum) Coba kamu perhatikan sekarang penampilanmu, sekarang jadi rapi, termasuk caramu menyusun isi dalam tas. Dari sana pun orang sudah menilai kamu orang yang rapi dan tidak ceroboh. Saat teteh berada disini teteh jadi suka membantu Ummu, itu menandakan teteh beranjak mandiri. Meski lelet dan fokusnya masih belum Ummu liat perubahannya, ini tetap perkembangan yang mesti diapresiasi.
                Mengenai jurusan psikologi, Abu minta maaf. Abu pun pernah diberi tahu bahwa bakat kamu saat SMP oleh psikolog di sekolahmu adalah disana. Namun Abu tak yakin akan masa depanmu, dengan jurusan tersebut. Abu baru mengerti bahwa tukang sampah berbakat dibidangnya pun bisa menjadi jutawan dengan bakatnya, sistem yang dibangunnya, dan penjiwaan didalamnya. Abu menambahkan.
Kalau teteh pengen pindah jurusan pun, sekarang sudah terlambat  Abu. Beberapa bulan lagi teteh akan menjalani sidang. Teteh cuma pengen Ummu dan Abu tau yang sebenernya. Teteh butuh dukungan penuh dari Ummu dan Abu, teteh merasa sangat lemah disini.
Kalau teteh mau lanjut S2 di psikologi, Abu akan dukung. InsyaAllah Abu masih kuat untuk menafkahi
Makasih Ummu, Abu.. mau ngerti keinginan teteh. Meski sebelumnya teteh banyak menuntut, tapi yang satu ini teteh janji ini yang terakhir kalinya.
Ga usah terpaku teh, selama kami bisa apa si yang engga buat anakku tercinta? sahut Ummu.
Sambil menahan air mata haru, akupun memeluk mereka erat.
                Semalam berlalu, adikku yang kemarin tak hadir karena mengikuti kegiatan Pamuka pun pulang. Ia menceritakan pengalamannya sebagai Ketua DKR kepada kami. Ia adalah Fasya, siswi kelas satu sebuah SMK di Garut. Keaktifannya beberapa bulan terakhir, membuat dirinya menjadi ketua Dewan Kerja Ranting kecamatan meskipun belum memasuki syarat sebagai bantara. Melihat semangatnya, kami turut bahagia. Setidaknya ia dibutuhkan oleh anggota Pramuka di kecamatan. Namun ada sedikit kekhawatiran yang mengganggu. Aku takut jika ia tak dapat bertanggung jawab sebaik mungkin. Karena usia mudanya yang belum mencapai persyaratan sebagai ketua, serta pengalamannya yang baru seumur jagung di dunia Pramuka. Namun tak halnya dengan orang tuaku, mereka mendukung penuh Fasya. Sedikit cemburuku timbul padanya. Aku terbilang lebih aktif darinya, namun mereka menyambut dengan batasan2 yang menyempitkan gerakku. Setelah kupikir ulang, sifat dasar kami berbeda. Fasya adalah pemalas yang harus mendapat dorongan lebih untuk bisa berkembang. Sementara untukku mereka tak harus mendorong pun bahkan semangatku harus dibatasi untuk organisasi tertentu yang menyita waktu untuk belajar. Masih terngiang jelas ungkapan mereka, "Teteh belajar ko sisa waktu?? Kalau cape emang masih fokus yah?!!"
                Setelah beragam perbincangan selama dua hari ini aku baru menyadari. Orang tua tak bisa selalu memenuhi apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan. Seperti halnya Allah yang menguji kita. Tujuannya tak lain untuk perbaikan dan mengembangkan kualitas diri dalam menghadapi beragam persoalan.
                Menjelang sore, aku dan adikku bertukar cerita di halaman belakang. Hingga kabar abu yang sebenarnya terungkap. Kecurigaanku muncul saat pertama menanyakan kabar. Ummu menyembunyikan penyakit yang di derita Abu,
"Awalnya abu pingsan dua bulan lalu, ga ada yang tau kenapa. Hari jum'at kemaren, abu pingsan lagi yang ke 4kalinya. Abu akhirnya dibawa ke rumah sakit, dan ternyata abu didiagnosa gejala leukimia teh. Karena surat yang teteh kasih, abu minta ummu untuk  ga ngasih tau teteh. Supaya teteh fokus belajar sampai sidang nanti. Abu ga mau nambah beban pikiran teteh, setelah tau sebenernya teteh ga bisa fokus belajar di kedokteran karena hal itu."
"Innalillahi wainnailaihi rajiuun, terus dokter ngasih terapi apa? biaya pengobatannya gimana?"
"Selama ini kita dibantu sama kantor abu teh, tapi jumlahnya ga seberapa kalo dibandingin total biaya pengobatan."
"Terus biaya kuliah kemaren? Sekolah ade? Abu dapet dari mana?"
"Ummu ga cerita si teh, tapi perhiasan yang ummu pake aku udah ga liat lagi."
"MasyaAllah de, kabar sepenting ini ko teteh ga tau."
"Teteh jangan bilang2 sm abu/ummu yah, anggep aja teteh ga tau apa2. Teteh fokus aja selesein skripsi, sok ade bantu doa lah! semanget teh!(memelukku yang tengah menahan tangis)"
"Iya, makasih de... makasih banyak"
                Seketika itu aku merasa menjadi anak durhaka, membiarkan mereka mengetahui keluh kesahku. Terlebih mengabulkan keinginanku untuk melanjutkan kuliah lagi. Padahal saat ini pun kuliahku tengah terancam, karena bukan rahasia lagi kalau jurusan ini butuh biaya yang besar.
                Tak ada pilihan lain, aku harus mengubur keinginanku untuk mengasah bakat terpendam yang pernah disinggung beberapa psikolog yang aku kenal. Sekalipun aku sangat ingin untuk menjadi psikolog dan memberi terapi untuk anak-anak jalanan, aku tak boleh egois. Bahkan orangtuaku nyatanya tidak sama sekali egois, meski 3taun terakhir aku dibuat berprasangka seperti itu. Aku resmi menguburnya, walau belum aku mengatakan pada mereka.
                Pagi keesokan harinya, aku berkemas untuk kembali ke bandung. Berat rasanya meninggalkan mereka, terutama Abu yang kini tengah sakit. Sebelum berangkat, tak biasanya Ummu membuatkanku teh hangat. Seingatku, itu beliau lakukan saat aku masih kecil karena takut aku masuk angin. Karena sewaktu kecil aku mabuk daratan. Akhirnya bus jurusan Bandung-Garut memisahkanku dengan Fasya  yang kali ini turut mengantarku sampai terminal. Ternyata Ummu menyelipkan album foto ke dalam tasku, yang baru aku sadari setelah sampai di kosan.
Text Box: cd
"Dear bayi kecilku yang mungil,
Engkau mungkin tak tau seberapa kelam dunia dibandingkan tempatmu saat ini.
Dunia ini membutuhkan cahaya, dunia ini membutuhkanmu cinta..
Tak peduli seberapa berat jalanku tuk membuat kalian menjadi jalan cahaya, akan aku tempuh..
Aku ibumu yang siap mendampingi langkah kecilmu, hingga kelak menjadi langkah2 cahaya..
Tangisan pertamamu, getaran hatimu..
Aku mengerti, kau takut akan dunia yang mengancammu..
Tak sama seperti kau berada di syurga dulu..
Namun ku kan menjagamu, berusaha menggantikan malaikat yang selalu menghiburmu di alam syurga..
Jika kau kesal semoga Allah membuka hatimu untuk menyadari, tak ada ibu yang rela anaknya disakiti.. termasuk oleh dirinya sendiri.
Saat kami memarahimu, terlebih lagi hati ini memarahiku.
Namun kau harus jadi orang besar anakku, maka aku harus membesarkan hatimu meski hatiku tak rela.
Aku mencintaimu malaikat kecilku..
Semoga Allah mengantar kalian pada cita2 besar kebanyakan umatNya di Indonesia."
ba

                Fuhh, senandung "kubuka album biru" terputar dibenakku. Banyak foto masa kecilku bersama Fasya yang tak asing lagi, namun kini aku baru melihat ada catatan2 kecil di sampingnya. Membacanya satu persatu, membuat hatiku semakin teriris. Ah, rasanya aku ingin kembali berada di tengah mereka saat ini juga. Mataku menghangat, mengingat kasih sayang mereka yang kudustakan selama ini. Tak banyak orang tua mampu bersikap bijak terhadap amarahnya dengan baik, padahal keteledoran2ku sangatlah banyak. Berulang kali mereka mengingatkanku, berulang kali pula aku mengulangi kecerobohanku. Hingga aku terpaku pada sebuah foto, dasarnya hitam dengan kode-kode dipinggir bawahnya. Aku mengenalinya, ini adalah photoscan seorang janin dalam kandungan. Fotoku dan adikku, diletakkan bersebelahan. Isi pesannya adalah harapan ummu agar kami mampu meraih mimpi besar yg banyak dicita2kan orang.
                                Tak kusangka Allah memilihkan kedokteran sebagai bidang studiku karena doa ini. Meski banyak keluh kesah dibibir, getaran tuk berbuat yang terbaik untuk orang tua tak pernah pudar dari benakku. Hingga ku tersadar semua terjadi karena cinta, yang ummu tanam semenjak kami berada dalam kandungan. Hatiku menggebu menagih tanggung jawabku terhadap kasih sayangnya. Tak ada pilihan lain, aku harus berprestasi di bidang kedokteran. Otakku terlanjur gila untuk berusaha lebih gila membuat impian mereka menjadi nyata.

   
                                Anisa kini telah resmi menjadi anak angkat Viona dan suaminya, Syarif. Keluarga kecil yang dirahmati Allah, yang berkumpul atas kerinduan untuk menemuiNya. Dengan semangat Qurani, mereka saling mengisi. Saling membantu dalam mengkaji, mengamalkan, dan menghafalkan Quran. Kedua orang tua angkat Anisa adalah seorang hafidz, hingga Nisa dapat kembali merasakan hangat kasih qurani yang sempat tercurah pada usia emasnya. Viona kini menggantikan uminya untuk melantunkan surat quran setiap kali Anisa hendak tidur. Sebelumnya orang tua kandung Anisa bukanlah seorang hafidz seperti mereka, namun semangat quraninya mengantarkan anak ini pada jalan menuju hafidz melalui Viona dan Syarif.
                Sore itu, tepat sebulan setelah pernikahan Viona aku hendak berkunjung ke rumahnya. Selama perjalanan aku menikmati ingatan epiosode yang kami lalui bersama saat menghafal Al-Qur'an. Kami mulai menghafal bersama dan lulus menjadi hafidz bersama dalam satu waktu. Rasa penasaran tentang kabar hafalan Anisa menggelayuti pikiranku. Gadis kecil yang membuat kami iri dengan semangatnya. Ia telah menginspirasi kami untuk mencetak hafidz-hafidz baru lebih giat lagi, terutama teman sepantinya. Mencetak generasi muda berkualitas.
                Saat aku memasuki rumahnya, betapa haru melihat tempelan-tempelan gambar kaligrafi  di setiap sudut ruangan. Subhanallah, anak itu benar-benar anugrah yang terindah untuk mereka. Rumah yang sama saat kami belajar bersama Viona, kini menjadi madrasah bahkan bagi teman-teman Anisa. Beberapa hari ini rumahnya menjadi basecamp ke dua program coaching yang kami berikan untuk anak-anak panti. Tempat mereka bermain dengan Anisa, serta menyetor hafalan qur’an.
                Aku berbincang-bincang tentang banyak hal. Kini Anisa sudah menghafal setengah juz 30, subhanallah. Dia yang paling semangat diantara teman sebayanya. Singkat cerita, Viona mengabarkan bahwa Anisa kini memiliki adik. Viona kini akan memiliki anak kandung pertama, meski baru berumur beberapa minggu. Tak lupa ia menceritakan program pendidikan yang ia rancang dengan suaminya. Aku pun turut ambil peran untuk menceritakan pengalamanku. Karena sosok ibu adalah orang yang paling dipercaya semenjak anak berada di dunia, ia harus memberi dasar pendidikan yang berkualitas sebagai wadah kehidupan anaknya kelak.
                Dasar keluargaku memang bukan keluarga yang kaffah, lantunan musik korea, barat bahkan musik remix khas dugem masih terkadang menghiasi rumah mungil kami. Namun yang orang tuaku tanam, kami tak boleh sembarang memilih idola. Rasulullah saw adalah idola utama, itu yang mereka tekankan semenjak kecil. Hingga kami tak pernah melampaui batas, dan menuruti syariat agama. Meski aku termasuk yang kurang setuju dengan selera musik adikku yang satu ini. Saat kami masih balita bahkan orang tuaku mulai sering memutarkan lagu nasyid dan lagu anak-anak untuk kami, yang hal ini akhirnya lebih terserap olehku. Semenjak SD aku mengidolakan Raihan, grup nasyid asal Malaysia. Hingga track list musik di masing-masing gadget kami beradu antara nasyid-korea-barat-dangdut&sunda (ummu&abu)-Instrumental, bahkan muratal. Lucunya jika setelah mendengar lagu remix langsung berputar Asmaul husna yang diawali dengan “astaghfirullaah…~”
                Ketika zona nyaman anak telah diciptakan sedemikian rupa dalam koridor yang benar, sebengkok apapun teman-teman disekelilingnya ia akan kembali pada zona nyaman tersebut. Ibu termasuk perancang sifat manusia ternama di seantero jagat raya, yang bahkan namanya dihormati dalam Al-Qur’an. Jika sang ibu salah menciptakan zona nyaman di usia emas anaknya, maka jangan heran jika kelak ia akan sangat sulit untuk diatur. “Ummu al madsrasatul ula”, ibu adalah guru pertama yang merancang kaki-kaki bidang keilmuan yang akan menghiasi kehidupan sang anak.
          Soal program beasiswa S2 yang aku ikuti kini tak luput dari bahasan kami. Aku hendak melanjutkan studi di Jepang. Hasilnya telah keluar sehari yang lalu, dan aku pun telah mengabarkan kedua orang tuaku. Tentu saja mereka yang mendengar kabar ini akan terkejut, mengingat tekadku yang semula 'ogah-ogahan' kini telah melampaui teman-temanku. Ku mengucap syukur pada Allah SWT, sekaligus berterima kasih atas dukungan Viona yang mampu membuatku bertahan tanpa melupakan kualitas belajar sampai akhir S1-ku. Kini aku kan mencari Viona lain di belaha bumi yang asing bagiku, semoga Allah mempertemukan dengan keimanan.
                Tak terasa jua perbincangan kami telah menghabiskan banyak waktu. Aku pun hendak berpamitan  untuk pulang meninggalkan keluarga kecil ini. Namun sebelum beranjak, Viona mencengkram lenganku seraya mengisyaratkanku tuk kembali duduk. Ia menyodorkan sebuah map dari bawah meja ruang tamu padaku, “Ini, barangkali kau bersedia mempertimbangkannya sahabatku..”. Saat kubuka, kulihat foto teman SMP kami yang kini memiliki perusahaan travel mancanegara di sudut kiri atas. Aku baru menyadari apa yang terjadi setelah melirik baris pertama. Ini adalah proposal nikah  darinya, untukku.




--Tamat--

penulis : silmi fadilah