Disusun oleh:
Diti Y. Pratama
Fenny Syafrianti
Nala Syarifah
Silmi Fadhilah Y
Sri Haryanti
Poppi
Putri
Rima Waroka
Taufik Galih
The Lingda
BAB
1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Spesies Nematoda usus banyak ditemukan
di daerah tropis termasuk Indonesia dan tersebar di seluruh dunia. Manusia
merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini
menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Diantara
nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang
tercemar oleh cacing. Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama
anak-anak dan balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan
balita maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi
terjadi pada orang dewasa dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing
usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth”
atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp(cacing tambang).
Pencemaran tanah merupakan penyebab
terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau
kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Tinggi
rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan dengan kebersihan diri dan
sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Di Indonesia prevalensi
kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi
lingkungan.(Mardiana, 2008). Penularan cacingan lebih banyak terjadi pada
daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi lingkungan
yang ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan dapat menyebabkan kekurangan
gizi yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup.
Ascariasis adalah penyakit yang
disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies
nematoda usus yang banyak menyerang manusia, hampir 25% populasi penduduk
dunia, yaitu lebih dari 1,4 miliar orang telah terinfeksi cacing ini.
Berdasarkan hasil penelitian Lamghari (2005), disertai dengan hasil studi
epidemiologi, ditemukan adanya hubungan antara penyakit Ascariasis pada anak
dengan tempat tinggal mereka yang dekat dengan air limbah. (Wani, 2010)
1.
Tujuan
2.
Mengetahui klasifikasi dari nematoda
parasit usus.
3.
Mengetahui morfologi nematoda parasit
usus.
4.
Mengetahui siklus hidup nematoda parasit
usus.
5.
Mengetahui patologi penyakit yang
disebabkan oleh nematoda parasit usus.
6.
Mengetahui epidemiologi dan distribusi
geografis penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
7.
Mengetahui cara pencegahan dan
pengendalian yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
BAB
II
PEMBAHASAN
Nematoda
merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada
tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda
usus. Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, yang banyak ditemukan
didaerah tropis dan tersebar diseluruh dunia. Spesies tersebut diantaranya Ascaris lumbricoides,Toxocara canis, Toxocara cati, Enterobius vermicularis,
Necator americanus,Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis, Trichuris trichiura, Trichinella spiralis, Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum , dan Ancylostoma ceylanicum.
1.
Ascaris lumbricoides (cacing gelang)
A.1. Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
A.2. Morfologi
Gambar morfologi Ascaris lumbricoides (terlampir)
Cacing
jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Pada cacing jantan ujung
posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi pepil kecil dan
dua buah spekulum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian
posteriornya membulat dan lurus, dan 1/3 pada anterior tubuhnya terdapat cincin
kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh
lapisan kutikula yang bergaris lurus.
Telur
yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron, dan yang tidak dibuahi 90 x
40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila
terbentuknya oval melebar, mempunyai lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol,
dan umumnya berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnya dapat mencapai 75 μm
dan lebarnya 50 μm. Telur yang belum dibuahi umumnya lebih oval dan ukuran
panjangnya dapat mencapai 90 μm, lapisan yang berbenjol-benjol dapat terlihat
jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada
tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30◦ C. Pada
kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 minggu.
A.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Ascaris lumbricoides (terlampir)
Dalam
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan
oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian
mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah,
lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui
bronkiolus dan bronkus.
Dari
trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Penderita batuk karena
rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus
halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan
sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 (dua) bulan.
A.4. Patologi
Gejala
yang timbul pada manusia disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan
karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru-paru. Pada orang yang
rentan terjadi pendarahan ringan di dinding alveolus disertai batuk, demam, dan
eusinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga
minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan
cacing dewasa menyebabkan penderita terkadang mengalami gangguan usus ringan
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada
infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memeperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak. Efek
yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke
saluran empedu, apendik, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat
sehingga kadang-kadang perlu tindakan kooperatif.
A.5. Epidemiologi
Di
Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya
60-90%. Kurangya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan
tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat
pembuangan sampah bahkan di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai
tinja sebagai pupuk.
Tanah
liat, kelembaban tinggi dan suhu 25o-30o C merupakan kondisi yang sangat baik untuk
berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi
bentuk infektif.
A.6. Pencegahan dan Pengendalian
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain:
§
Hendaknya pembuangan tinja (feses)
pada W.C. yang baik.
§
Pemeliharaan kebersihan perorangan
dan lingkungan.
§
Penerangan atau penyuluhan melalui
sekolah, organisasi kemasyarakatan oleh guru-guru dan pekerja-pekerja
kesehatan.
§
Hendaknya jangan menggunakan tinja
sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan zat kimia tertentu.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan
antara lain dengan memutus siklus hidupAscaris lumbricoides. Pemakaian
jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidupAscaris lumbricoides ini.
Kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga oleh masyarakat dapat menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, di bawah pohon dan di
tempat-tempat pembuangan sampah. Upaya pengendalian juga dapat dilakukan dengan
memberikan obat-obatan seperti yang diberikan secara perorangan maupun massal.
A.7. Pengobatan
Obat
lama yang pernah digunakan adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkimol, dan
hetrazam.
2.
Enterobius
vermicularis (cacing kremi)
B.1. Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
B.2. Morfologi
Gambar Enterobius vermicularis (telampir).
Cacing
betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada pelebaran
kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus
esofagus jelas sekali ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid
melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm juga mempunyai sayap
dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya, spikulum pada
ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus
besar, dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum.
B.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Enterobius vermicularis (terlampir)
Manusia
adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis.
Tempat hidup cacing kremi dewasa biasanya adalah coecum, dan bagian usus besar dan usus halus yang
berdekatan dengan coecum. Cacing betina yang hamil,
yang mengandung kira-kira 11.000 butir telur pada malam hari bermigrasi ke
daerah perianal dan perineal, tempat telurnya dikeluarkan dalam kelompok-kelompok
dengan kontraksi uterus dan vagina karena rangsangan suhu yang lebih rendah dan
lingkungan udara. Telur menjadi matang dan infektif beberapa jam setelah
dikeluarkan. Telur jarang dikeluarkan di dalam rongga usus maka pemeriksaan
tinja tidak penting. Bila telur ditelan, larva stadium pertama menetas di dalam
duodenum.
B.4. Patologi
Enterobiasis
relatif tidak berbahaya jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis
yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh
cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga
menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan
menyebabkan proritusani maka penderita menggaruk daerah di sekitar anus.
Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya
dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda bergerak ke usus halus bagian
proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan
pada daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di
vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan radang di saluran telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan,
berat badan turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat marah, insomnia, gigi
menggeretak dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan
hubungan sebab dengan cacing kremi.
B.5. Epidemiologi
Penyebaran
cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada
keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama,
rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau
kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di
berbagai rumah tangga dengan bebarapa anggota keluarga yang mengandung cacing
kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat
duduk kakus, bak mandi alas kasur, pakaian dan tilam. Penelitian di daerah
Jakarta Timur melaporkan bahwa enterobiasis sering menyerang pada anak usia 5-9
tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Penularan dapat dipengaruhi oleh :
1.
Penularan dari tangan ke mulut sesudah
menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur
kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-baenda maupun
pakaian yang terkontaminasi.
2.
Debu merupakan sumber infeksi karena
mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
3.
Retrofeksi melalui anus : larva dari
telur yang menetas disekitar anus kembali masuk ke usus.
Anjing
dan kucing tidak mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi
oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Frekuensi di Indonesia tinggi
terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah.
Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.
B.6. Pencegahan dan
Pengendalian
Penularan enterobiasis dapat melalui
tangan, debu ataupun retrofeksi melalui anus oleh karena itu upaya pencegahan
yang dapat dilakukan diantaranya:
§
Menjaga kebersihan diri sendiri.
§
Kuku sebaiknya pendek dan selalu cuci
tangan sebelum makan.
§
Makanan hendaknya dihindarkan dari debu
dan tangan yang mengandung parasit.
§
Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci
bersih dan diganti setiap hari.
§
Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana
panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan
tidak dapat menggaruk daerah perianal.
B.7. Pengobatan
Upaya
pengobatan dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan seperti
pyrantel pamoat, mebendazol ataupun albendazol.
3.
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang)
C.1. Klasifikasi
Klasifikasi Necator americanus
Phylum
: Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Necator
Species : Necator americanus
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Necator
Species : Necator americanus
Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
C.2. Morfologi
Gambar Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale (terlampir)
Cacing
tambang dewasa berbentuk silindris, cacing betina berukuran 9-13 mm sedangakan
cacing jantan berukuran 5-10 mm bentuk Necator americanus berbentuk
seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki
bentuk seperti huruf C. Rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan
terbuka. Pada Necator americanus mulut
dilengkapi dengan gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi
dua pasang gigi berbentuk lancip. Cacing jantan pada kedua cacing ini, ujung
ekornya mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus
dan lancip. Secara morfologis kedua spesies cacing dewasa ini mempunyai
perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh, rongga mulut dan bursa
kopulatriksnya).
C.3. Siklus hidup
Telur
kedua cacing ini, keluar bersama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan
waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform
kemudian dalam waktu sekitar 3 hari, larva rabditiform berkembang menjadi larva
filariform (bentuk infektif). Larva filariform dapat tahan di dalam tanah
selama 7-8 minggu. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform
menembus kulit atau tertelan.
Siklus
hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit
manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung
kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai
menjadi dewasa.
C.4. patologi
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis,
yaitu:
1.
Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus
menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan
infeksi larva filariformAncylostoma duodenale secara
oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring,
batuk, sakit leher dan serak
2.
Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan
jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak
0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34
cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga
terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian,
tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun.
C.5. Epidemiologi
Insidens
tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di
tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu)
penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah
tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americans 280-320 C,
sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih
rendah (230-250C).
Pada umumnya Ancylostoma duodenale lebih
kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu.
C.6. Pencegahan dan
Pengendalian
Pencegahan:
§
Menghindari kontak langsung dengan tanah
dan tempat kotor lainnya.
§
Hendaknya pembuangan feses pada
tempat/WC yang baik.
§
Melindungi orang yang mungkin mendapat
infeksi.
§
Pemberantasan melalui perbaikan sanitasi
lingkungan
§
Hendaknnya penggunaan tinja sebagai
pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut sudah dicampur dengan zat kimia tertentu
untuk membunuh parasitnya.
§
Penerangan melalui sekolah-sekolah.
§
Menjaga kebersihan diri.
§
Selalu menggunakan sandal atau alas kaki
ketika bepergian.
§
Meminum vitamin B12 dan asamfolat.
Pengendalian:
Pengendalian dilakukan dengan cara
pengobatan. Pengobatan yang dilakukan yaitu melalui obat pilihan bernama
tetrakloretilen (juga infektif untuk Ancylostoma duodenale ).
C.7. Pengobatan
Obat
lain yang bisa digunakan adalah mebendazol, albendazol, pirantelpamoat,
bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat.
4.
Trichuris trichiura (cacing cambuk )
D.1. Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum :
Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
D.2. Morfologi
Gambar Trichuris trichiura (terlampir)
Cacing
betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm.
Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina
bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat
satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya
yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.
D.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Trichuris trichiura (terlampir)
Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah
yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva
dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus
halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing
ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang
tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.
D.4. Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di
sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum.
Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke
dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping
itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan
anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah
cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan
feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan
menurun.
D.5. Epidemiologi
Faktor
penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar
30-90%.
D.6. Pencegahan dan
Pengendalian
Di
daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita
trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan
kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci
sayuran yang dimakan mentah adalah penting apa lagi dinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
D.7. Pengobatan
Pengobatan
efektif dengan mebendazol, pirantel, dan albendazol.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Cacing Nematoda usus merupakan cacing
parasit yang distribusi geografisnya kosmopolit yang menjadi permasalahan
tersendiri bagi kesehatan masyarakat dunia. Hospes dari spesies cacing Nematoda
parasit usus ini kebanyakan adalah manusia, tetapi beberapa diantaranya
ditemukan pada hewan seperti Toxocara canishospesnyaanjing; Toxocara cati pada kucing; Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicumditemukan pada anjing dan kucing
serta Trichinella spiralis yang ditemukan pada tikus,
babi, beruang, kucing, anjing dan babi hutan. Apabila cacing tersebut telah
berinvestasi pada tubuh hospesnya maka akan menimbulkan beberapa gangguan dan
penyakit pada sistem tubuh tetapi cenderung mempertahankan kehidupan hospesnya.
Di antara Nematoda usus terdapat
sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut ‘soil
transmitted helmints’. Tingginya infeksi cacing usus di Indonesia dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya disebabkan oleh iklim tropis yang lembab,
sanitasi perseorangan dan lingkungan yang kurang baik, pendidikan yang rendah,
sarana jamban keluarga yang kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia
dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Penularan cacing Nematoda parasit usus
yaitu :
§
Telur infektif masuk melalui mulut
: Ascaris lumbricoides, Toxocara canis, Toxocara cati dan Enterobius vermicularis.
§
Larva infektif masuk melalui kulit
: Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang.
§
Telur matang masuk melalui mulut : Trichuris trichiura.
Pencegahan yang perlu dilakukan oleh
masyarakat agar tidak terinfeksi oleh cacing nematoda parasit usus ini yaitu
sebagai berikut :
§
Menjaga sanitasi lingkungan, kebersihan
perseorangan, dan kebersihan hewan peliharaan.
§
Menambah pengetahuan tentang perilaku
hidup bersih dan sehat, yang dapat diperoleh dari membaca buku dan
menyimak penyuluhan.
Daftar Pustaka
Dachi, Rahmat A. 2005. Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar Nomor 174593 Hatoguan
Terhadap Infeksi Cacing Perut di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir Tahun 2005. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15363/1/mki-des2005-%20(5).pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Entjang, Indan. 2011. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti
Mardiana, Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar
Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah Dki
Jakarta. www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/5-Mardiana.pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK
UI. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Onggowaluyo, Jangkung Samidjo.
2000. Parasitologi Medik 1. Jakarta: EGC
Wani, Imtiaz dan Nazir Mir. 2010. Historical Review of Intestinal Ascariasis: Surgical History. http://globaljournals.org/GJMR_Volume10/1-Historical-Review-of-Intestinal-Ascariasis-Surgical.pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2011
LAMPIRAN
1.
Ascaris lumbricoides
A.
MORFOLOGI
B. SIKLUS HIDUP
2. Enterobius vermicularis
(cacing kremi)
A. MORFOLOGI
B.
SIKLUS
HIDUP
3.
Necator
americanus dan Ancylostoma
duodenale
A.
MORFOLOGI